Rabu, 16 September 2009

MUDIK LEBARAN

Sepuluh hari terakhir di bulan Romadhan sampai dengan sepuluh hari setelah Romadhan ada peningkatan kesibukan luar biasa di tengah masyarakat kita. Salah satu yang paling mencolok adalah prosesi mudik lebaran. Tentu tidak semua orang sibuk mudik lebaran. Hanya perantau yang bisa merasakan susah senangnya mudik lebaran.

Di antara perantau ada yang sukses, ada yang biasa-biasa saja, dan ada juga yang gagal. Mereka yang sukses sudah pasti mudik lebaran dengan membawa senyum bahagia. Mobil pribadi dan sopir pribadi siap mengantar kemana pun pergi. Sementara perantau yang biasa-biasa harus mudik dengan berdesak-desakkan di kereta kelas ekonomi. Sedangkan perantau yang gagal tidak berani pulang kampung, karena tidak ada bekal. Mereka malu kalau harus pulang kampung dengan tangan hampa.

Perantau yang sukses biasanya adalah orang-orang yang memiliki semangat membaja, jiwa pantang menyerah, pekerja keras, dan tidak mudah tergoda untuk hidup boros. Orang-orang yang sukses diperantauan biasanya orang yang memiliki visi dan sadar bahwa mereka merantau untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya buat hidup di masa depan dan untuk mencukupi kebutuhan keluarga di kampung halaman.



Sementara perantau yang biasa-biasa saja merupakan tipe perantau yang setengah-setengah dalam berihtiar. Mereka merasa cukup dengan apa yang di dapat untuk kebutuhan minimal mereka. Mereka melihat jalan menuju sukses demikian berat, akhirnya pasrah dengan keadaan. Saat usia sudah senja dan saat pulang kampung tiba mereka baru sadar, bahwa selama ini tidak maksimal dalam bekerja dan mengumpulkan bekal.

Sementara perantau yang gagal biasanya tipe orang yang santai dan ingin segera menikmati hasil kerja di perantauan. Hari ini mendapat rejeki, hari itu juga habis. Mereka tidak berfikir jauh ke depan, bahwa mereka butuh menabung untuk kebutuhan hari tua. Mereka tidak memahami bahwa di negeri asing mereka cuma merantau dan suatu saat nanti harus kembali ke kampung halaman. Saat waktu kontrak kerja habis, hasil kerja tak bersisa, bekal pun sudah tiada, sementara visa sudah habis, paspor pun tak berlaku. Jadilah dia gelandangan di negeri orang.

Rasulullah saw dalam salah satu kesempatan memberikan nasihat, “Jadilah kalian di dunia seperti orang asing (merantau) atau orang yang sedang dalam perjalanan.”

Hidup adalah sebuah episode bepergian (merantau) dan suatu saat harus pulang ke kampung halaman. Dunia adalah ladang untuk akhirat, sebagai musim tanam amal kebaikan, untuk bekal di akhirat kelak. Kita hidup kemudian mati, sedangkan kematian bukanlah akhir segalanya. Akhirat adalah tempat semua manusia menerima hasil usahanya di dunia, sebagaimana perantau menikmati hasil usahanya saat pulang kampung.

Namun, sebagian besar orang terpesona oleh indah dan nikmatnya dunia, sehingga lupa bahwa mereka harus mudik kepada Rabbnya. Salah seorang generasi salaf mengingatkan, “Berhati-hatilah terhadap dunia; sesungguhnya sihirnya lebih bahaya dari sihir Harut dan Marut,...karna Harut dan Marut memisahkan antara dua orang suami istri, sedangkan dunia memisahkan antara hamba dengan Tuhan-nya.

Sementara itu Bilal Bin Sa’ad berkata, “Seungguhnya kamu tidak di ciptakan untuk lenyap, kamu hanya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, sebagaimana kamu berpindah dari tulang punggung ke dalam rahim, dan dari rahim ke dunia, dan dari dunia ke dalam kubur, dan dari kubur ke padang mahsyar, dan dari mahsyar ke sorga atau ke neraka.”

Saatnya mempersiapkan bekal yang cukup untuk mudik ke kampung akhirat, karena sesungguhnya dunia cuma tempat bersinggah sementara. Allah SWT berfirman, “...Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah kesenangan (sementara) dan Sesungguhnya akhirat Itulah negeri yang kekal.” (QS. Al-Mukmin: 39). Pertanyan untuk kita semua adalah, jika saat ini kita harus mudik ke kampung kahirat, kita termasuk sebagai orang yang sukses, biasa-biasa saja, atau sebagai perantau yang gagal?

sumber : www.solopeduli.com

Download

Tidak ada komentar:

Posting Komentar